artikelkumpulansejarah.blogspot.com - Kali ini akan membahas tentang sebuah tempat bersejarah di Kota Gresik. Apa Itu? Yaitu merupakan sebuah telaga atau danau kecil yang bernama Telaga Pegat tepatnya berada di kabupaten Gresik. Untuk lebih lengkapnya yuk kita simak pembahasan di bawah.
Gresik memiliki banyak telaga. Buktinya, banyak nama desa atau kampung yang menggunakan kata di depannya dengan _Tlogo_ atau telaga aau danau kecil. Masuk Gresik dari Surabaya, Anda akan menjumpai nama desa Tlogo Bendung, Tlogo Dendo, Tlogo Patut, Tlogo Pojok dan turun sedikit ke arah Pasar Gresik ada Tlogo Terate, terus masuk ke perkampungannya ada Tlogo Semarangan dan seterusnya.
Masing-masing telaga punya legenda dan mitos yang berkembang di masyarakat sekitarnya. Semisal, ada telaga yang katanya sering “makan” korban. Ada anak yang berenang tenggelam dan jasadnya tidak pernah diketemukan.
Tak tahu benar tidaknya karena ketika saya mendengar itu, usia saya masih tujuh tahunan. Mungkin itu trik agar anak-anak tidak berenang di telaga itu. Sebab bagaimana pun ada orang tua yang khawatir dan ada pula yang merasa terganggu, terutama telaga yang dekat dengan pemukiman.
Diantara telaga-telaga tadi, ada telaga yang sampai sekarang masih “dipercaya” legenda dan mitosnya. Salah satunya adalah *Tlogo Pegat*. Terletak di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik -- tepatnya 300 meter tenggara makam Sunan Giri -- nama telaga memang terdengar aneh. _Pegat_ dalam bahasa Jawa berarti pisah atau cerai. Namun dalam kasus _Tlogo Pegat_ hal itu tidak ada kaitannya dengan rumah tangga.
Ada beberapa versi cerita yang berkembang di masyarakat Kebomas, Gresik. Telaga itu dinamakan Tlogo Pegat karena danau kecil ini menjadi pemisah antara _Gunung Patireman_ dan _Gunung Bagong_. Gunung Bagong merupakan tempat belajar, baik mengaji maupun bela diri dan kegiatan keagamaan lainnya, sementara Gunung Petireman -- sesuai namanya – merupakan tempat tinggal atau pondokan Sunan Giri beserta keluarganya.
Senior saya, Cak Sjaf bercerita bahwa semasih kecil - awal 1950-an - ibu Cak Sjaf, Ibu Muzayanah, bersama teman seperjuangannya Ibu Sibyana Rahim (tinggal di Kampung Rogo, Pekelingan, Gresik) hampir seminggu dua kali mengajar di Madrasah yang dipimpin oleh Pak Masyhud, di Giri Gajah.
Cak Sjaf sering ikut ibunya ke sana, karena berangkatnya siang dan sudah sampai rumah lagi ketika sore. Dijemput dan diantar oleh dokar yang dikemudikan yang oleh Cak Sjaf dikenal dengan sebutan Wak Doel atau anaknya Cak Akhyar.
Selama perjalanan, Cak Sjaf suka bertanya-tanya tentang yang dilihatnya. Dalam salah satu obrolannya, Wak Doel dan ditambahi Cak Akhyar mengatakan bahwa telaga yang berada di sisi kiri jalan ke arah Giri itu dibuat dengan cara menggali oleh para santri Sunan Giri di bawah pimpinan Sunan Giri sendiri. Maksudnya tidak lain untuk memenuhi kebutuhan di kawasan perbukitan kapur itu.
Ada pula yang mengatakan bahwa selain untuk pengairan, telaga itu digunakan untuk mensucikan orang, terutama orang yang jahat seperti perampok, pembunuh, bahkan murid-murid Sunan Giri. Mereka dimandikan disitu agar menjadi bersih, menghilangkan hal-hal yang buruk. Juga ada yang percaya bahwa air telaga itu bisa menyembuhkan penyakit kulit yang pernah mewabah di Gresik.
Tak terbayangkan bagaimana beratnya menggali telaga itu, dan sekaligus menunjukkan kepiawaian Sunan Giri dalam memilih lokasinya. Seperti diketahui, daerah Giri adalah perbukitan kapur (atau bukit Karst). Di daerah seperti itu, seringkali -- kalau tidak selalu -- disertai dengan aliran-aliran sungai bawah tanah. Rupanya itulah yang ditemukan oleh santri-santri Sunan Giri, suatu sumber air yang melimpah.
Kabarnya, mata air itu harus ditutup sebagian dengan kuwali atau periuk yang digunakan untuk menanak nasi tadi. Karena bila aliran airnya tidak ditutup sebagian, begitu besar debitnya, dikhawatirkan akan menenggelamkan daerah sekitarnya.
Kalau dulu mungkin cerita seperti itu akan dianggap berlebih-lebihan atau dilebih-kebuihkan. Tetapi setelah peristiwa Lumpur Lapindo masyarakat sudah paham, bahwa keberadaan air dalam tanah - dalam berbagai bentuknya - bisa sangat besar sekali.
Itulah cerita mengenai asal mula Telogo Pegat . Lalu kemana tanah galiannya ditempatkan sampai sekarang belum saya dengar ceritanya. Mungkin dulunya memang sudah ada cekungan. Namun, airnya kecil sehingga para santri Sunan Giri tinggal memperdalam untuk menemukan mata air yang sesungguhnya. Caranya dengan menggali lagi dasar telaga yang ada atau mengepras perbukitan yang ada. Yang pasti, telaga itu masih tetap berfungsi hingga beratus-ratus tahun kemudian.
Namun, keadaan Tlogo Pegat sekarang memunculkan keprihatinan. Di sana sini penuh sampah, belum lagi banyak tumbuhan liar yang memenuhi seluruh permukaan telaga tersebut. Tlogo Pegat juga digunakan warga sekitar untuk mandi dan mencuci pakaian.
Semua orang boleh mandi di sana. Tapi ada persyaratan untuk tetap menjaga adat sopan santun. Ini karena ada mitos yang berkembang di daerah itu, orang tidak diperkenankan berkata-kata kotor atau melakukan tindakan tidak sopan lainnya -- apalagi mengeluarkan ucapan yang menghina atau mencela telaga tersebut –karena dia akan menerima akibatnya.
0 Komentar